PEKANBARU- Rangkaian Festival Sutardji Calzoum Bachri, 24 sampai 26 Juni 2021, digelar simposium yang dilaksanakan Universitas Lancang Kuning (Unilak), Fakultas Ilmu Budaya (FIB). Dalam helat ini membicarakan 2 kredo puisi presiden penyair Indonesia itu.
Di sela-sela Anjangsana Masa sebagai rangkaian Festival Sutardji Calzoum Bachri di kawasan Jalan Riau, tempat SCB pernah tinggal di Pekanbaru pada Sabtu sore (26/6/2021), Taufik Ikram Jamil (TIJ), penulis buku biografi Kesaksian Presiden Penyair Sutardji Calzoum Bachri, menyebutkan, simposium yang membicarakan kredo kedua puisi SCB secara ilmiah itu, di Indonesia pertama kali dilakukan di Riau.
Dalam simposium pada tanggal 25 Juni 2021 itu, TIJ yang juga menjadi narasumber mengatakan, bicara tentang karya Sutardji Calzoum Bachri kita bicara soal kemuliaan, kemanusiaan, dan apalagi orang Melayu menisbatkan dirinya sebagai Islam.
"Apa yang saya lakukan ini, menulis buku ini, lebih kecil dari apa yang dilakukan oleh SCB. Buku Kesaksian ini banyak hal yang bisa digali lagi dan saya yakin ada yang membuat buku baru tentang Sutardji Calzoum Bachri," kata TIJ.
Dalam karyanya, sambung TIJ, SCB berbicara tentang akar Melayu dan konsep estetika. Dalam tunjuk ajar Melayu, jika tidak bisa diluruskan, tradisi diuji dengan agama, kalau tradisi bertentangan dengan agama maka tinggalkan tradisi itu. Dalam hal ini Melayu adalah Islam.
"Dalam menggali karya sastra SCB ini, kita perlu ilmu dan pengetahuan serta pengalaman. Menurut saya dalam 100 tahun yang akan datang kita tidak akan ada lagi menemukan karya seperti Sutardji Calzoum Bachri ini," ucap TIJ.
Sastrawan Indonesia K.H. Musta Mustofa Bisri dalam simposium itu mengatakan, karya sastra Sutardji Calzoum Bachri lahir dari mata yang sangat luas. "SCB memancing ke langit," kata sastrawan yang biasa disapa Gus Mus.
Simposium secara daring itu, selain menghadirkan Taufik Ikram Jamil, Gus Mus, juga menghadirkan Presiden Penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri, Ketua Umum MKA LAM Riau Datuk Seri Al Azhar, Rektor Unilak DR. Junaidi, S.S. M.Hum, dengan moderatornya Dekan FIB Unilak M. Kafrawi, S.S M.Sn.
Menurut Gus Mus, kredo satu karya Sutardji Calzoum Bachri adalah kata-kata dalam puisi yang lepas dari makna, dan ini selalu mencari sesuatu yang baru atau pencarian.
Sedangkan kredo kedua, sambung Gus Mus, ujung dari pencarian. Menariknya, dalam pencarian dan ujung pencarian itu SCB mendedahkan kata: tiada tuhan selain Allah, dan Allah memang tanpa pengecualian.
"Menurut saya, dari sekian banyak panyair, dalam karyanya SCB merupakan pengecualian dari Allah. Puisi puisi Sutardji Calzoum Bachri tidak mengutuk orang lain ketika bicara alam. Saya menyamakan SCB seperti penyair besar Abu Nawas," ucap Gus Mus.
Gus Mus menyebutkan, bahwa SCB sudah sampai ke kredonya dan itu sudah terdedahkan. "Allah Maha kecuali, Sutardji menurut saya dia memancing ke langit, dia diberi nikmat oleh Allah tidak saja pada puisi tapi juga pada kemanusiaan dia sebagai manusia."
Puisi Sutardji yang berjudul Tanah Air Mata, kata Gus Mus, sangat luar biasa, kalah tausiyah-tausiyah Ustaz. "Allah memberi nikmat karena Sutardji bisa memandang dari mata yang lebih luas. Kredo 2 Sutardji sudah sampai, barangkali ada kredo ketiga," ujar Gus Mus.
"Jika selama ini kata presiden penyair Indonesia disebut Sutardji Calzoum Bachri sendiri, maka hari ini saya mengatakan bahwa Sutardji Calzoum Bachri memang presiden penyair Indonesia," ungkap Gus Mus.
Rektor Unilak DR. Junaidi pada kesempatan itu mengatakan, karya Sutardji Calzoum Bachri adalah warisan yang harus terus digali dan dikembangkan. "Karya yang dituliskan itu bisa hadir dalam karya sastra nusantara, dan banyak aspek yang memang perlu untuk dikaji lagi secara ilmiah."
Ketua MKA LAM Riau Datuk Seri Al azhar menyebutkan, hasil puisi SCB dengan pembebasan kata dari beban makna itu, seorang academia sastra, Will Derks, dengan jitu menandai bahwa SCB “sejak awal kepenyairannya sebenarnya bukan hanya penyair, pemberontak atau performer yang luar biasa, tetapi juga seorang mistikus yang merindukan yang kudus,".
Menurut Will, kata Al azhar, dari awal SCB berusaha keras dalam puisinya untuk membuat ruang yang lapang, ruang yang hanya bisa diisi oleh Pemberi Makna Yang Agung. ”Dan “keinginan seperti itu–perjumpaan dengan misteri– memerlukan keberanian… menerima dan mengalami Makna Seutuhnya itu. SCB adalah potret penyair sebagai pemberani,” kata Al azhar.
"Jejaring kajian dan kritik sastra dunia sepatutnya mempertimbangkan SCB sebagai penerima Hadiah Nobel Sastra," ungkap Al azhar.
(Mediacenter Riau/fik)