PEKANBARU - Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) atau replanting perkebunan kelapa sawit di Riau pada tahun 2022 tidak dapat terealisasi. Salah satu faktor penyebabnya yakni karena ada penambahan syarat untuk pengajuan program tersebut.
Kepala Dinas Perkebunan Riau Zulfadli melalui Kabid Produksi Vera Virgianti mengatakan, penambahan syarat baru tersebut yakni lahan yang yang akan diajukan mendapatkan program PSR harus berada dikawasan yang tidak lahan gambut.
"Jadi ada penambahan syarat baru, yakni lahan yang diajukan dapat program PSR harus mendapatkan surat keterangan bebas dari kawasan lindung gambut," katanya.
Dengan adanya syarat tersebut, membuat para petani menjadi semakin sulit untuk mendapatkan program PSR. Sementara itu, untuk regulasi lainnya menurut Vera ada keringanan, yakni tidak perlu lagi verifikasi ditingkat provinsi, hanya sampai tingkat kabupaten/kota saja.
"Cuma persyaratannya ada ditambah, yang mengeluarkan itu dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Padahal di Riau lahan gambutnya cukup banyak, sehingga permohonannya tidak bisa dilanjutkan," ujarnya.
Sementara itu, untuk tahun 2023, pihaknya hingga saat ini belum mendapatkan kuota program PSR dari pemerintah pusat. Pasalnya, untuk yang tahun 2022 saja tidak dapat terlaksana.
"Kalau kuota tahun 2023 kami belum dapat dari pemerintah pusat. Untuk kuota tahun 2022 yang menetapkan juga pemerintah pusat sebanyak 11 ribu hektare," sebutnya.
Dijelaskan Vera, tujuan PSR adalah penggantian tanaman kelapa sawit yang sudah tidak lagi produktif, dan bukan membuat perkebunan sawit baru.
"Untuk PSR ini pemerintah pusat menganggarkan Rp30 juta per hektare yang sebelumnya Rp25 juta, dimana satu petani maksimal mendapatkan bantuan empat hektare. Dana itu dari BPDPKS yang sumber dananya berasal dari pungutan ekspor," jelasnya.
(Mediacenter Riau/ms)